Dari Hollywood ke TikTok: Perang Soft Power untuk Menguasai Hati & Pikiran Global
Dalam lanskap global yang semakin terhubung, peperangan tidak lagi hanya tentang senjata dan tank. Ia telah bergeser ke ranah yang lebih halus, namun tak kalah mematikan: perang soft power. Jika hard power mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi, soft power adalah kemampuan untuk menarik dan membujuk melalui budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Selama puluhan tahun, Hollywood adalah benteng utama soft power Amerika Serikat. Namun, di era digital, medan pertempuran telah berubah. Kini, TikTok, platform video pendek asal Tiongkok, muncul sebagai pemain baru yang mengancam dominasi tersebut, memicu kompetisi yang lebih rumit dari yang pernah ada.
Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana perang soft power bergeser dari layar lebar ke layar genggam, menganalisis strategi para pemain utama, dan memahami implikasinya bagi tatanan geopolitik global.
Dominasi Hollywood: Simbolisme dan Narasi Amerika
Sejak abad ke-20, Hollywood tidak hanya menjual film dan musik, tetapi juga ide. Melalui genre seperti Western yang mengagungkan kebebasan individu, film-film superhero yang mewakili keadilan, atau romansa yang menggambarkan mimpi Amerika, Hollywood berhasil mengekspor nilai-nilai demokrasi, kapitalisme, dan individualisme ke seluruh penjuru dunia. Film-film seperti The Godfather, Star Wars, dan Avengers menjadi lebih dari sekadar hiburan—mereka adalah agen budaya. Dengan menanamkan narasi ini, Amerika Serikat membangun “citra ideal” yang membuat negara lain secara sukarela ingin meniru gaya hidup, bahasa, dan bahkan sistem politiknya.
Kesuksesan Hollywood didukung oleh infrastruktur distribusi global yang masif, mulai dari bioskop, stasiun televisi, hingga layanan streaming seperti Netflix. Namun, era digital mulai mengikis hegemoni ini. Konsumsi konten kini lebih terfragmentasi, dan generasi muda mencari hiburan yang lebih cepat, interaktif, dan personal.
Kebangkitan TikTok: Algoritma sebagai Senjata Baru
Tiba-tiba, sebuah aplikasi dari Tiongkok, TikTok, berhasil menaklukkan dunia dengan kecepatan yang luar biasa. Berbeda dengan Hollywood yang mendikte narasi dari atas ke bawah, TikTok memberikan panggung kepada siapa saja untuk menjadi kreator. Kekuatan utamanya terletak pada algoritma canggih yang mampu membaca preferensi pengguna dengan akurat, menyajikan konten yang relevan, dan menciptakan “tren” yang viral dalam hitungan jam.
Namun, di balik joget-joget dan video lucu, tersembunyi kekhawatiran geopolitik. TikTok adalah milik ByteDance, sebuah perusahaan Tiongkok. Para kritikus, terutama di Barat, khawatir bahwa algoritma TikTok dapat digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk memengaruhi opini publik, menyebarkan propaganda, atau bahkan mengumpulkan data sensitif. Kekhawatiran ini memicu seruan untuk memblokir atau memaksa penjualan TikTok di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan India. Perang soft power kini bukan lagi tentang siapa yang punya cerita terbaik, tetapi siapa yang mengendalikan algoritma.
Pergeseran Mediasi: Dari Kontrol Negara ke Kendali Platform
Pergeseran dari Hollywood ke TikTok menandai perubahan fundamental dalam siapa yang memiliki soft power. Dulu, soft power dikelola secara semi-terpusat oleh studio-studio besar yang sebagian besar berada di Amerika Serikat. Proses ini masih relatif bisa diawasi dan dikendalikan oleh negara. Sekarang, soft power dimediasi oleh platform global yang dimiliki oleh korporasi. Kendali atas informasi dan narasi kini ada di tangan entitas swasta, yang sering kali memiliki prioritas yang berbeda dari negara tempat mereka beroperasi.
Tiongkok sendiri telah berinvestasi besar dalam soft power-nya melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative dan pembangunan institusi pendidikan global. Namun, kesuksesan TikTok secara organik jauh melampaui upaya-upaya pemerintah tersebut. Ini menunjukkan bahwa di era digital, pengaruh budaya yang otentik dan “dari bawah ke atas” lebih efektif daripada propaganda yang terstruktur.
Masa Depan Soft Power: Sebuah Medan Pertempuran yang Kompleks
Lalu, apa implikasinya bagi masa depan? Pertarungan antara Hollywood (dan media Barat pada umumnya) melawan TikTok (sebagai representasi Tiongkok) adalah cerminan dari persaingan geopolitik yang lebih besar. Beberapa poin penting yang perlu dicermati:
- Fragmentasi Pasar Konten: Tidak ada lagi satu sumber dominan. Konsumen global kini disajikan dengan beragam pilihan dari berbagai belahan dunia, dari drama Korea (K-Drama), anime Jepang, hingga Bollywood. Ini bisa membuat soft power menjadi lebih sulit dikendalikan.
- Peran Algoritma: Pertarungan sesungguhnya bukanlah di permukaan, melainkan di balik layar—di algoritma yang memandu apa yang dilihat dan dipikirkan oleh miliaran orang. Siapa yang menguasai teknologi ini, dialah yang akan memiliki keunggulan strategis.
- Regulasi dan Keamanan Nasional: Kekhawatiran akan penggunaan data dan pengaruh asing akan memicu regulasi yang lebih ketat terhadap platform-platform global. Setiap negara akan berupaya melindungi “kedaulatan informasinya.”
Pada akhirnya, perang soft power di abad ke-21 adalah tentang siapa yang paling efektif dalam menguasai perhatian dan membentuk emosi. Dulu, itu adalah kisah epik yang diceritakan di layar lebar. Kini, itu adalah video 15 detik yang viral di layar genggam. Dalam pertarungan ini, pemenangnya bukan hanya yang paling kuat, tetapi yang paling relevan dengan hati dan pikiran global.