Belenggu Utang atau Tali Penolong? Membedah Tuduhan ‘Debt-Trap Diplomacy’ dalam Kebijakan Luar Negeri Tiongkok
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah debt-trap diplomacy atau “diplomasi jebakan utang” menjadi salah satu narasi paling kontroversial dalam diskursus geopolitik global. Tuduhan ini sering diarahkan kepada Tiongkok, khususnya terkait proyek-proyek besar dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI). Menurut para pengkritik, pinjaman infrastruktur yang ditawarkan Tiongkok hanya akan membebani negara berkembang dengan utang besar, hingga akhirnya membuat mereka bergantung secara politik maupun ekonomi. Namun, benarkah demikian, atau justru narasi ini terlalu disederhanakan?
Asal-Usul Tuduhan ‘Debt-Trap Diplomacy’
Tuduhan diplomasi jebakan utang pertama kali mencuat dari kasus pelabuhan Hambantota di Sri Lanka. Ketika negara itu gagal membayar pinjaman, pelabuhan tersebut akhirnya disewakan kepada perusahaan Tiongkok selama 99 tahun. Peristiwa ini menjadi simbol dari apa yang disebut sebagai bukti strategi Tiongkok untuk “menjerat” negara berkembang. Namun, sejumlah analis kemudian menilai bahwa krisis Sri Lanka lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal, seperti mismanajemen ekonomi dan ketidakstabilan politik, dibandingkan semata-mata akibat pinjaman Tiongkok.
Bagaimana Skema Pinjaman Tiongkok Bekerja?
Skema pendanaan BRI umumnya berupa pinjaman dengan bunga kompetitif, disertai pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh kontraktor Tiongkok. Dalam banyak kasus, proyek ini memberi manfaat nyata seperti peningkatan konektivitas, lapangan kerja baru, dan percepatan pembangunan. Akan tetapi, risiko muncul ketika negara peminjam tidak memiliki manajemen fiskal yang baik. Utang yang menumpuk dapat menimbulkan kerentanan ekonomi, terlebih bila proyek infrastruktur tersebut tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan.
Tuduhan Versus Realitas
Meski istilah debt-trap sering digunakan, sejumlah studi internasional, termasuk dari lembaga think tank independen, menunjukkan bahwa tidak ada bukti konsisten bahwa Tiongkok secara sistematis merancang pinjaman untuk mengambil alih aset negara. Sebaliknya, Tiongkok sering kali melakukan restrukturisasi utang, memperpanjang masa pembayaran, atau bahkan menghapus sebagian kewajiban bagi mitra yang kesulitan. Hal ini memperlihatkan adanya nuansa yang lebih kompleks dibanding sekadar jebakan utang.
Respon Negara Barat dan Aliansi Global
Di sisi lain, negara Barat memanfaatkan narasi debt-trap diplomacy untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok. Melalui inisiatif seperti Global Gateway dari Uni Eropa dan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang dipimpin Amerika Serikat, Barat menawarkan alternatif pendanaan infrastruktur dengan syarat transparansi, keberlanjutan, dan tata kelola yang baik. Persaingan ini menciptakan lebih banyak opsi bagi negara berkembang, meskipun juga memunculkan tarik-menarik kepentingan geopolitik yang semakin intens.
Dampak bagi Negara Berkembang
Bagi negara berkembang, pinjaman Tiongkok bisa menjadi peluang sekaligus risiko. Di satu sisi, infrastruktur yang didanai dapat mempercepat pembangunan ekonomi. Namun, di sisi lain, lemahnya tata kelola dan perencanaan fiskal bisa menjadikan pinjaman itu beban jangka panjang. Oleh karena itu, kunci utama ada pada kemampuan negara penerima dalam mengelola utang secara bijak dan memastikan proyek yang dibiayai benar-benar produktif.
Kesimpulan
Perdebatan tentang apakah BRI adalah “belenggu utang” atau “tali penolong” masih akan terus berlanjut. Faktanya, tuduhan debt-trap diplomacy tidak selalu sejalan dengan realitas di lapangan. Tiongkok memang mendapatkan pengaruh geopolitik dari kebijakan pinjaman ini, namun tidak semua proyek dimaksudkan sebagai jebakan. Pada akhirnya, apakah pinjaman Tiongkok menjadi beban atau berkah sangat bergantung pada bagaimana negara penerima mengelola sumber daya dan kebijakan ekonominya. Dengan demikian, narasi ini sebaiknya dilihat secara kritis, seimbang, dan berbasis data, bukan sekadar retorika politik.